Hukum Sholat Berjama'ah
Tidak
disangsikan lagi permasalahan ibadah merupakan inti ajaran Islam. Syari’at
sangat memperhatikan permasalahan ini, karena merupakan perwujudan aqidah
seseorang. Dan Allah l menjadikannya sebagai tujuan penciptaan manusia dalam
firmanNya,
وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّلِيَعْبُدُونِ
Dan Aku
tidaklah menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah
kepadaKu. [Adz Dzariyat:56].
Diantara
ibadah yang agung dan penting ialah shalat. Karena merupakan amalan terbaik
seorang hamba. Rasulullah n bersabda,
اسْتَقِيمُوا وَلَنْ تُحْصُوا وَاعْلَمُوا أَنَّ خَيْرَ
أَعْمَالِكُمْ الصَّلَاةَ وَلَا يُحَافِظُ عَلَى الْوُضُوءِ إِلَّا مُؤْمِنٌ
Istiqamahlah,
dan kalian tidak akan mampu ber-istiqamah dengan sempurna. Ketahuilah,
sebaik-baik amalan kalian ialah shalat. Dan tidaklah menjaga wudhu, kecuali
seorang mukmin.[1]
Terlebih
lagi, shalat telah diwajibkan Allah terhadap kaum mukminin. Sehingga sudah
selayaknya kita memperhatikan masalah ini. Dengan berharap dapat menunaikannya
secara sempurna.
KEDUDUKAN
SHALAT DALAM ISLAM
Shalat
menempati kedudukan tinggi dalam Islam. Adalah rukun kedua dan berfungsi
sebagai tiang agama. Rasulullah bersabda,
رَأْسُ الْأَمْرِ الْإِسْلَامُ وَعَمُودُهُ الصَّلَاةُ
Pemimpin
segala perkara (agama) ialah Islam (syahadatain), dan tiangnya ialah shalat.[2]
Seluruh
syariat para rasul menganjurkan dan memotivasi umatnya untuk menunaikannya,
sebagaimana Allah berfirman menjelaskan do’a Nabi Ibrohim Alaihissallam :
رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلاَةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي
رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَآءِ
Ya
Rabbku, jadikanlah aku dan anak-cucuku, orang-orang yang tetap mendirikan
shalat, ya Rabb kami, perkenankan do'aku. [Ibrahim:40].
Dan
mengisahkan Nabi Ismail Alaihissallam :
وَكَانَ يَأْمُرُ أَهْلَهُ بَالصَّلاَةِ وَالزَّكَاةِ وَكَانَ
عِندَ رَبِّهِ مَرْضِيًّا
Dan ia
menyuruh ahlinya untuk shalat dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang
diridhai di sisi Rabbnya. [Maryam :55].
Demikian
juga menyampaikan berita kepada Nabi Musa Alaihissallam :
إِنَّنِى أَنَا اللهُ لآإِلَهَ إِلآأَنَا فَاعْبُدْنِي
وَأَقِمِ الصَّلاَةَ لِذِكْرِي
Sesungguhnya
Aku ini adalah Allah, tidak ada Ilah (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku
dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. [Thaha :14].
Nabi Isa
Alaihissallam menceritakan nikmat yang diperolehnya dalam Al Qur’an:
وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَيْنَ مَاكُنتُ وَأَوْصَانِي
بِالصَّلاَةِ وَالزَّكَاةِ مَادُمْتُ حَيًّا
Dan Dia
menjadikan aku seorang yang berbakti di mana saja aku berada, dan Dia
memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku
hidup. [Maryam :31].
Bahkan Allah
Subhanahu wa Ta'ala mengambil perjanjian Bani Israil untuk menegakkan shalat.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَ بَنِى إِسْرَاءِيلَ لاَ تَعْبُدُونَ
إِلاَّ اللَّهَ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى
وَالْمَسَاكِينِ وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا وَأَقِيمُو الصَّلاَةَ وَءَاتُوا
الزَّكَاةَ ثُمَّ تَوَلَّيْتُمْ إِلاَّ قَلِيلاً مِّنكُمْ وَأَنتُم مُّعْرِضُونَ
Dan
(ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu):Janganlah kamu
menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat,
anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik
kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak
memenuhi janji itu, kecuali sebagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu
berpaling. [Al Baqarah :83].
Demikian
juga Allah memerintahkan hal itu kepada Nabi Muhamad Shallallahu 'alaihi wa
sallam dalam firmanNya:
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلاَةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا
لاَنَسْئَلُكَ رِزْقًا نَّحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى
Dan
perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam
mengerjakannya. Kami tidak meminta rizki kepadamu, Kamilah yang memberi rizki
kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertaqwa.
[Thaha:132].
Demikian
tinggi kedudukan shalat dalam Islam, sampai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam menjadikannya sebagai pembeda antara mukmin dan kafir. Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
الْعَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ الصَّلَاةُ فَمَنْ
تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
Perjanjian
antara aku dan mereka adalah shalat. Barangsiapa yang meninggalkannya, maka
telah berbuat kekafiran.[3]
Memang,
seseorang yang meninggalkan shalat, akan lebih mudah meninggalkan yang lainnya.
Kemudian terputuslah hubungannya dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Abu Bakar
Ash Shidiq menyatakan dalam surat Beliau kepada Umar,“Ketahuilah, perkara yang
paling penting padaku ialah shalat. Karena seseorang yang meninggalkannya, akan
lebih mudah meninggalkan yang lainnya. Dan ketahuilah, Alah Subhanahu wa Ta'ala
memiliki satu hak pada malam hari yang tidak diterimaNya pada siang hari. Dan
satu hak pada siang hari yang tidak diterimaNya pada malam hari. Allah tidak
menerima amalan sunnah, sampai (seseorang) menunaikan kewajiban.” [4]
HUKUM
SHOLAT BERJAMA’AH
Shalat jama’ah disyari’atkan dalam Islam. Akan tetapi para ulama berselisih pendapat tentang hukumnya. Terpilah menjadi empat pendapat.
Pertama :
Hukumnya Fardhu Kifayah.
Demikian
ini pendapat Imam Syafi’i, Abu Hanifah, jumhur ulama Syafi’iyah mutaqaddimin
(terdahulu, peny.), dan banyak ulama Hanafiyah maupun Malikiyah.
Al Hafidz
Ibnu Hajar berkata,“Dzahir nash (perkataan) Syafi’i, shalat berjamaah hukumnya
fardhu kifayah. Inilah pendapat jumhur mutaqaddimin dari ulama Syafi’iyah dan
banyak ulama Hanafiyah serta Malikiyah.” [5]
Dalil-Dalilnya
Hadits Pertama.
مَا مِنْ ثَلَاثَةٍ فِي قَرْيَةٍ وَلَا بَدْوٍ لَا تُقَامُ
فِيهِمْ الصَّلَاةُ إِلَّا قَدْ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمْ الشَّيْطَانُ فَعَلَيْكُمْ
بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ الْقَاصِيَةَ
Tidaklah
ada tiga orang dalam satu perkampungan atau pedalaman tidak ditegakkan pada
mereka shalat, kecuali Syaithan akan menguasainya. Berjama’ahlah kalian, karena
serigala hanya memangsa kambing yang sendirian.[6]
As Saib
berkata,”Yang dimaksud berjama’ah ialah jama’ah dalam shalat.[7]
Hadits
Kedua.
ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ فَأَقِيمُوا فِيهِمْ
وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي فَإِذَا
حَضَرَتْ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ
أَكْبَرُكُمْ
Kembalilah
kepada ahli kalian, lalu tegakkanlah shalat pada mereka, serta ajari dan
perintahkan mereka (untuk shalat). Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat
aku shalat. Jika telah datang waktu shalat, hendaklah salah seorang kalian
beradzan dan yang paling tua menjadi imam. [8]
Hadits
Ketiga.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلَاةَ الْفَذِّ
بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
Dari Ibnu
Umar, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Shalat
berjama’ah mengungguli shalat sendirian dua puluh tujuh derajat.” [9]
Kedua.
Hukumnya syarat, tidak sah shalat tanpa berjama’ah, kecuali dengan udzur.
Demikian
ini pendapat Dzahiriyah dan sebagian ulama hadits. Pendapat ini didukung oleh
sejumlah ulama, diantaranya: Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Ibnu Aqil dan Ibnu
Abi Musa.
Di antara
Dalil-Dalinya, ialah:
Hadits
Pertama.
مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِهِ فَلَا صَلَاةَ لَهُ
إِلَّا مِنْ عُذْرٍ
Barangsiapa
yang mendengar adzan lalu tidak datang, maka tidak ada shalat baginya kecuali karena
udzur. [10]
Hadits
Kedua.
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ
بِحَطَبٍ فَيُحْطَبَ ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلَاةِ فَيُؤَذَّنَ لَهَا ثُمَّ آمُرَ
رَجُلًا فَيَؤُمَّ النَّاسَ ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى رِجَالٍ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ
بُيُوتَهُمْ
Demi Dzat
yang jiwaku ada ditanganNya, sungguh aku bertekad meminta dikumpulkan kayu
bakar. Lalu dikeringkan (agar mudah dijadikan kayu bakar). Kemudian aku
perintahkan shalat, lalu ada yang beradzan. Kemudian aku perintahkan seseorang
untuk mengimami shalat, dan aku tidak berjama’ah untuk menemui orang-orang
(lelaki yang tidak berjama’ah), lalu aku bakar rumah-rumah mereka. [11]
Hadits
Ketiga.
أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ
أَعْمَى فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ لَيْسَ لِي قَائِدٌ يَقُودُنِي إِلَى
الْمَسْجِدِ فَسَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ
يُرَخِّصَ لَهُ فَيُصَلِّيَ فِي بَيْتِهِ فَرَخَّصَ لَهُ فَلَمَّا وَلَّى دَعَاهُ
فَقَالَ هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلَاةِ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَأَجِبْ
Seorang
buta mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata,“Wahai
Rasulullah, aku tidak mempunyai seorang yang menuntunku ke masjid,” lalu dia
meminta keringanan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sehingga
dibolehkan shalat di rumah. Lalu Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
memberikan keringanan kepadanya. Ketika ia meninggalkan Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam, langsung Rasulullah memanggilnya dan bertanya,“Apakah engkau
mendengar panggilan adzan shalat?” Dia menjawab,“Ya.” Lalu Beliau
berkata,“Penuhilah!” [12]
Ketiga :
Hukumnya Sunnah Muakkad.
Demikian
ini pendapat madzhab Hanafiyah dan Malikiyah. Imam Ibnu Abdil Barr
menisbatkannya kepada kebanyakan ahli fiqih Iraq, Syam dan Hijaj.
Dalil-Dalilnya.
Hadits
Pertama.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلَاةَ الْفَذِّ
بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
Dari Ibnu
Umar, bahwa Rasulullah n bersabda,”Shalat berjama’ah mengungguli shalat sendirian
dua puluh tujuh derajat.”[13]
Hadits
Kedua.
إِنَّ أَعْظَمَ النَّاسِ أَجْرًا فِي الصَّلَاةِ أَبْعَدُهُمْ
إِلَيْهَا مَمْشًى فَأَبْعَدُهُمْ وَالَّذِي يَنْتَظِرُ الصَّلَاةَ حَتَّى
يُصَلِّيَهَا مَعَ الْإِمَامِ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنْ الَّذِي يُصَلِّيهَا ثُمَّ
يَنَامُ وَفِي رِوَايَةِ أَبِي كُرَيْبٍ حَتَّى يُصَلِّيَهَا مَعَ الْإِمَامِ فِي
جَمَاعَةٍ
Sesungguhnya,
orang yang mendapat pahala paling besar dalam shalat ialah yang paling jauh
jalannya, kemudian yang lebih jauh. Orang yang menunggu shalat sampai shalat
bersama imam, lebih besar pahalanya dari orang yang shalat, kemudian tidur.
Dalam riwayat Abu Kuraib, (disebutkan): sampai shalat bersama imam dalam
jama’ah. [14]
Imam Asy
Syaukani menyatakan setelah membantah pendapat yang mewajibkannya,“Pendapat yang
tepat dan mendekati kebenaran, (bahwa) shalat jama’ah termasuk sunah-sunah yang
muakkad… Adapun hukum shalat jama’ah adalah fardhu ‘ain atau kifayah atau
syarat sah shalat maka tidak”.
Hal ini
dikuatkan oleh Shidiq Hasan Khan dengan pernyataan Beliau, “Adapun hukumnya
fardhu, maka dalil-dalilnya masih dipertentangkan. Akan tetapi terdapat cara
ushul fiqh yang mengkompromikan dalil-dalil tersebut. Yaitu, hadits-hadits
keutamaan shalat jama’ah menunjukkan keabsahan shalat secara sendirian.
Hadits-hadits ini cukup banyak. Diantaranya :
وَالَّذِي يَنْتَظِرُ الصَّلَاةَ حَتَّى يُصَلِّيَهَا مَعَ
الْإِمَامِ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنْ الَّذِي يُصَلِّي وَحْدَهُ ثُمَّ يَنَامُ
Orang
yang menunggu shalat sampai shalat bersama imam, lebih besar pahalanya dari
orang yang shalat sendirian kemudian tidur. Hadits ini dalam kitab shahih.
Juga, diantaranya hadits tentang seseorang yang shalatnya salah. Kemudian
Rasulullah n memerintahkannya untuk mengulangi shalatnya, sendirian. Kemudian
hadits أَلَا رَجُلٌ يَتَصَدَّقُ عَلَى هَذَا (seandainya ada seorang yang bersedekah
kepadanya) [15]. Ketika melihat seseorang shalat sendirian.
Diantara
hadits-hadits yang menguatkannya ialah hadits yang mengajarkan rukun Islam.
Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak memerintahkan orang yang
diajarinya untuk tidak shalat, kecuali berjama’ah. Padahal Beliau mengatakan
kepada orang yang menyatakan saya tidak menambah dan menguranginya: أَفْلَحَ إِنْ صَدَقَ (telah beruntung jika benar) dan dalil-dalil lainnya. Semua ini
dapat menjadi pemaling sabda Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam فَلاَ صَلاَةَ لَهُ
yang ada pada hadits-hadits yang menunjukan kewajiban berjama’ah kepada
peniadaan kesempurnaan, bukan keabsahannya.” [16]
Pendapat
ini dirajihkan oleh Asy Syaukani dan Shidiq Hasan Khan serta Sayyid Sabiq.[17]
Keempat :
Hukumnya Wajib ‘Ain (Fardhu ‘Ain) Dan Bukan Syarat.
Demikian
ini pendapat Ibnu Mas’ud, Abu Musa Al Asy’ariy, Atha’ bin Abi Rabbah, Al Auza’i,
Abu Tsaur, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, sebagian besar ulama Hanafiyah dan
madzhab Hambali.
Dalilnya.
-
Dalil-dalil dari firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
وَإِذَا كُنتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاَةَ
فَلْتَقُمْ طَآئِفَةُُ مِّنْهُم مَّعَكَ وَلِيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا
سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِن وَرَآئِكُمْ وَلْتَأْتِ طَآئِفَةٌ أُخْرَى لَمْ
يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ وَدَّ
الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ تَغْفُلُونَ عَنْ أَسْلِحَتِكُمْ وَأَمْتِعَتِكُمْ
فَيَمِيلُونَ عَلَيْكُم مَّيْلَةً وَاحِدَةً وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن كَانَ
بِكُمْ أَذًى مِّن مَّطَرٍ أَوْ كُنتُم مَّرْضَى أَن تَضَعُوا أَسْلِحَتَكُمْ
وَخُذُوا حِذْرَكُمْ إِنَّ اللهَ أَعَدَّ لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُّهِينًا
Dan
apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu), lalu kamu hendak
mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka
berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka
(yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan se-raka'at), maka hendaklah
mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang
golongan yang kedua yang belum bershalat, lalu bershalatlah mereka denganmu,
dan hendaklah mereka bersiap-siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir
ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka
menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan
senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau
karena karena kamu memang sakit; dan siap-siagalah kamu. Sesungguhnya Allah
telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu. [An
Nisa’:102].
Dalam
ayat ini terdapat dalil yang tegas mengenai kewajiban shalat berjama’ah. Yakni
tidak boleh ditinggalkan, kecuali ada udzur, seperti: ketakutan atau sakit.
وَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ
الرَّاكِعِينَ
Dan
dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku'lah bersama orang-orang yang
ruku'. [Al Baqarah:43).
Ayat di
atas merupakan perintah. Kata perintah menunjukkan maksud kewajiban shalat
berjama’ah.
فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللهُ أَن تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا
اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَاْلأَصَالِ رِجَالُُ
لاَّتُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلاَبَيْعٌ عَن ذِكْرِ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ
وَإِيتَآءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ
وَاْلأَبْصَارُ
Bertasbih
kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan
disebut namaNya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, laki-laki yang
tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat
Allah, mendirikan shalat, dan membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari
yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. [An Nur:36-37].
قُلْ أَمَرَ رَبِّي بِالْقِسْطِ وَأَقِيمُوا وُجُوهَكُمْ عِندَ
كُلِّ مَسْجِدٍ وَادْعُوهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ كَمَابَدَأَكُمْ تَعُودُونَ
Katakanlah,"Rabbku
menyuruh menjalankan keadilan." Dan (katakanlah),"Luruskan muka
(diri)mu di setiap shalat dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan keta'atanmu
kepadaNya. Sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan (demikian
pulalah) kamu akan kembali kepadaNya." [Al A’raf:29].
Kedua
ayat di atas, terdapat kata perintah yang menunjukkan kewajiban shalat
berjama’ah.
يَوْمَ يُكْشَفُ عَن سَاقٍ وَيُدْعَوْنَ إِلَى السُّجُودِ
فَلاَيَسْتَطِيعُونَ خَاشِعَةً أَبْصَارُهُمْ تَرْهَقُهُمْ ذِلَّةٌ وَقَدْ كَانُوا
يُدْعَوْنَ إِلَى السُّجُودِ وَهُمْ سَالِمُونَ
Pada hari
betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud; maka mereka tidak
kuasa, (dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi
kehinaan. Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud, dan
mereka dalam keadaan sejahtera. [Al Qalam:42-43].
Ibnul
Qayyim berkata,“Sisi pendalilannya, adalah Allah Subhanahu wa Ta'ala menghukum
mereka pada hari kiamat dengan memberikan penghalang antara mereka dengan
sujud, ketika diperintahkan untuk sujud. Mereka diperintahkan sujud di dunia
dan enggan menerimanya. Jika demikian, maka menjawab panggilan mendatangi masjid
untuk menghadiri jama’ah shalat, bukan sekedar melaksanakannya di rumahnya
saja.”
- Dalil
dari sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ
بِحَطَبٍ فَيُحْطَبَ ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلَاةِ فَيُؤَذَّنَ لَهَا ثُمَّ آمُرَ
رَجُلًا فَيَؤُمَّ النَّاسَ ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى رِجَالٍ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ
بُيُوتَهُمْ
Demi Dzat
yang jiwaku ada di tanganNya, sungguh aku bertekad meminta dikumpulkan kayu
bakar, lalu dikeringkan (agar mudah dijadikan kayu bakar). Kemudian aku
perintahkan shalat, lalu ada yang beradzan. Kemudian aku perintahkan seseorang
untuk mengimami shalat dan aku tidak berjama’ah untuk menemui orang-orang
(lelaki yang tidak berjama’ah). Lalu aku bakar rumah-rumah mereka.[18]
Ibnu
Hajar dalam menafsirkan hadits ini menyatakan,“Adapun hadits bab (hadits di
atas), maka dhahirnya menunjukkan, (bahwa) shalat berjama’ah fardhu ‘ain.
Karena, seandainya hanya sunah, tentu tidak mengancam yang meninggalkannya
dengan (ancaman) pembakaran tersebut. Juga tidak mungkin terjadi, atas orang
yang meninggalkan fardhu kifayah, seperti pensyari’atan memerangi orang-orang
yang meninggalkan fardhu kifayah.”[19]
Demikian
juga Ibnu Daqiqil ‘Ied menyatakan,“Ulama yang berpendapat, bahwa shalat
berjama’ah hukumnya fardhu ‘ain berhujah dengan hadits ini. Karena jika
dikatakan fardhu kifayah, kewajiban itu dilaksanakan oleh Rasulullah dan orang
yang bersamanya dan jika dikatakan sunnah, tentu tidaklah dibunuh orang yang
meninggalkan sunah. Dengan demikian jelaslah, shalat jama’ah hukumnya fardhu
‘ain.” [20]
أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ
أَعْمَى فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ لَيْسَ لِي قَائِدٌ يَقُودُنِي إِلَى
الْمَسْجِدِ فَسَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُرَخِّصَ
لَهُ فَيُصَلِّيَ فِي بَيْتِهِ فَرَخَّصَ لَهُ فَلَمَّا وَلَّى دَعَاهُ فَقَالَ
هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلَاةِ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَأَجِبْ
Seorang
buta mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata,“Wahai
Rasulullah, aku tidak mempunyai seorang yang menuntunku ke masjid,” lalu dia
meminta keringanan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sehingga
dibolehkan shalat di rumah. Lalu Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
memberikan keringanan kepadanya. Ketika ia meninggalkan Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam, langsung Rasulullah memanggilnya dan bertanya,“Apakah engkau
mendengar panggilan adzan shalat?” Dia menjawab,“Ya.” Lalu Beliau
berkata,“Penuhilah!” [21]
Setelah
menyampaikan hujjahnya dengan hadits ini, Ibnu Qudamah berkata,“Jika orang buta
yang tidak memiliki orang untuk mengantarnya, tidak diberi keringanan, maka,
(yang) selainnya lebih lagi.” [22]
مَا مِنْ ثَلَاثَةٍ فِي قَرْيَةٍ وَلَا بَدْوٍ لَا تُقَامُ
فِيهِمْ الصَّلَاةُ إِلَّا قَدْ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمْ الشَّيْطَانُ فَعَلَيْكُمْ
بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ الْقَاصِيَةَ
Tidaklah
ada tiga orang dalam satu perkampungan atau pedalaman tidak ditegakkan pada
mereka shalat, kecuali syaithan akan menguasainya. Berjama’ahlah kalian, karena
serigala hanya memangsa kambing yang sendirian.[23]
Nash-nash
ini menunjukkan wajibnya shalat berjama’ah. Pendapat ini dirajihkan oleh Lajnah
Daimah Lil Buhuts wal Ifta’ (Komite Tetap Untuk Riset dan Fatwa Saudi Arabia)
[24] dan Syaikh Prof. Dr. Shalih bin Ghanim As Sadlan dalam kitabnya Shalat Al
Jama’ah [25]. Demikian juga sejumlah ulama lainnya. Wallahu a’lam.
Oleh : Ustadz
Abu Asma Kholid Syamhudi
0 komentar:
Posting Komentar